Nilai Waktu


Nilai Waktu
Sebagaimana Hasan al-Bashri pernah menyatakan, kita hanyalah kumpulan hari-hari yang terus berkurang secara pasti. Satu persatu berlalu pergi membawa masa lalu kita dengan ceritanya sendiri-sendiri. Pahit manisnya, derita bahagianya, buruk baiknya, hingga sia-sia atau bergunanya. Dan ketika semuanya berkonsekuensi pertanggungan jawab, kita tentu tidak bisa mengabaikannya begitu saja.
            Pernah, Ibnu Mas’ud berkata, “tidak ada penyesalanku yang lebih besar melebihi saat matahari terbenam, umurku berkurang dan aku tidak menambah kebaikan”. Sebuah nasihat bijak nilai waktu milik kita. Tempat kita menggadaikan hasil akhir perjalanan hidup, bahagia atau celaka, tersenyum lebar atau tertunduk menyesal.

            Apapun, hasil yang akan kita panen, pararel dengan pilihan-pilihan kita dalam memaknai hari-hari, yang menghajatkan ketelitian tingkat tinggi agar tidak merugi, sebagai kemestian atas bekerjanya malam dan siang, serta terseretnya kita dalam kerja mereka. Sehingga kita pun harus bekerja secara benar didalamnya. Dengan ilmu yang benar dan kebersihan hati yang mempuni.
            Tapi, bagaimana kita bisa sukses memetik kemenangan atas waktu jika kita bahkan tidak mengetahui ketingian nilainya? Menganggapnya biasa, atau tiada arti hingga begitu boros menggunakannya untuk hal-hal yang tidak sepadan?. Membayar terlalu mahal untuk kenikmatan remeh temeh dan menjual umur dengan bayaran sanat murah. Akhirnya, kita tertipu dalam angan-angan anggapan akan kesuksesan dan kenermaknaan hidup versi sendiri.
            Berbasis ilmu hawa nafsu yang mencari kesenangannya, tanpa pernah peduli akan kepastian niali kebaikan di sisi Allah, banyak manusia menjalani hidup dan merasa normal. Padahal di sepanjang usianya, setiap kita wajib mencari ilmu tentang kebenaran, agar keputusan yang kita ambil untuk memilih sebuah tindakan menemukan pijakan kebenaranya. Karena kebodohan memenjarakan. Mematikan diri bahkan sebelum datang kematian dan mengubur diri sebelum dikuburkan.
            Cinta istirahat dan berkenikmat-nikmat di dalamnya adalah awal dari rendahnya cita-cita akan kemuliaan, memadamkan gelora dan semangat juang, serta merantai seluruh persendian dengan kemalasan. Perlahan tapi pasti, rindu ketinggian martabat kehambaan memudar dan menghilang. Hingga tersisa perlombaan akan kebanggaan berbanyak anak dan berbilang harta. Lelah tak terperi tanpa batas akhir selain kematian itu sendiri.
            Waktu akan terus melaju menuruti takdirnya. Dan tidak ada pilihan lain selain memaksakan diri berpantas kebaikan agar ia tidak pergi membawa kesia-siaan. Entah apakah memiliki pilihan atau tidak, sadar atau kehilangan akal, kita tetap akan terseret pusarannya. Mengurangi kumpulan bernama hari-hari yang semakin kehilangan anggotanya.
            Duh, alangkah menakutkannya keadaan tertipu waktu tanpa tahu arah perjalanan masa. Teromban-ambing melayang tanpa pijakan dan tempat bergantung. Dan jika kemudian kita berharap untung, logika mana yang bisa menerimanya?. 

0 komentar :

Posting Komentar