AIDS HIV/AIDS, penyakit mengerikan dan mematikan kini betul-betul telah merajalela, jumlahnya semakin lama semakin meningkat. HIV/AIDS menjadi epidemic mematikan yang telah menewaskan lebih dari 25 juta manusia. Dalam lima tahun terakhir, Kementerian Kesehatan RI mencatat laju penularan HIV/AIDS di Indonesia delapan kali lipat dari 2.684 penderita pada tahun 2004 menjadi 21.770 penderita pada tahun 2009, dengan 53% berada di kelompok usia 20-29 tahun. Angka-angka fantastis terkait HIV/AIDS dan seks pra nikah ini tentu akan sebanding dengan angka penyebaran penyakit menular seksual di kalangan remaja (termasuk HIV/AIDS), penyalahgunaan narkoba (khususnya penggunaan melalui jarum suntik yang menjadi jalan penyebaran HIV/AIDS) dan tingginya kasus aborsi. Banyaknya kalangan remaja usia produktif yang terinfeksi HIV/AIDS sangat mengkhawatirkan, dan merupakan problem yang sangat serius bagi suatu bangsa. Sebab dalam waktu yang tidak lama akan menghantarkan pada hancurnya generasi, hilangnya angkatan kerja dan meningkatnya angka ketergantungan. Selanjutnya akan membuat hancurnya sebuah bangsa.
Beberapa tahun belakangan ini, diestimasi penularan HIV/AIDS yang tertinggi adalah akibat penggunaan bersama jarum suntik tidak steril di kalangan IDU dan telah menjadi opini yang cenderung mengabaikan bahaya penularan akibat perilaku seks bebas, termasuk perilaku seks bebas pada IDU akibat loss kontrol. Padahal perlu digaris bawahi, seks bebas justru menjadi sumber penularan pertama dan utama HIV/AIDS. Adapun bukti bahwa seks bebas sebagai sumber pertama HIV/AIDS adalah ditemukannya infeksi HIV pertama kali di kalangan homoseksual di San Fransisco, tahun 1978, dan kasus AIDS yang pertama juga ditemukan di kalangan homoseksual, pada tahun 1981. Dan seks bebas pulalah yang menjadi media penularan utama HIV/AIDS, karena akibat perilaku seks bebas yang dibiarkan terjadilah penyebaran HIV/AIDS yang sangat cepat ke seluruh dunia. Apalagi saat ini perilaku seks bebas yang tidak normal, baik lesbian, gay (homoseksual), biseksual maupun transgender keberadaannya diakui dan dianggap bukan sesuatu yang ditabukan lagi.
Dikenal tiga pola penularan dan penyebaran HIV/AIDS yang semuanya menunjukkan peranan kebiasaan seks bebas sebagai faktor utama penularan HIV/AIDS. Pola pertama, ditemukan pada kelompok homoseksual, biseksual, dan pencandu obat bius. Ini terjadi di Amerika Utara, Eropa Barat, Australia, New Zealand dan sebagian Amerika. Hingga saat ini, transmisi melalui kontak seksual tetap menempati urutan teratas. Pola kedua, ditemukan di kalangan heteroseksual dan ini terjadi di Afrika Tengah, Afrika Selatan, Afrika Timur, dan beberapa daerah Karibia. Ditemukannya kasus AIDS pada daerah ini sejalan dengan adanya perubahan sosial dan maraknya industri prostitusi. Pola ketiga ditemukan di Eropa Timur, daerah Mediteranian Selatan, dan Asia Pasifik. Di sini penularan terjadi melalui kontak homoseksual dan heteroseksual dengan orang yang berasal dari daerah endemik, baik dengan pola pertama maupun pola kedua.
Seks bebas sebagai sumber penularan pertama dan utama HV/AIDS, juga terbukti di Indonesia, yaitu dengan ditemukannya kasus AIDS pertama di Denpasar, Bali yang merupakan surga bagi penikmat seks bebas. Penyakit ini ditemukan pada seorang turis Belanda dengan kecenderungan homoseksual yang kemudian meninggal April 1987. Orang Indonesia pertama yang meninggal dalam kondisi AIDS juga dilaporkan di Bali, Juni 1988. Seks bebas sebagai sumber penularan utama HIV/AIDS juga terlihat dari terkonsentrasinya epidemi HIV/AIDS pada kalangan pekerja seks komersial (PSK).
Apa Yang Terjadi?
Angka-angka di atas tentu tak menggambarkan fakta sesungguhnya. Ibarat gunung es, kenyataan yang tersembunyi ditengarai jumlahnya jauh lebih banyak dari yang menyeruak ke permukaan. Hal ini tentu harus membuat kita prihatin, mengingat remaja merupakan asset masa depan bangsa. Bahkan secara persentase, data-data tersebut angkanya jauh lebih besar.
Sesungguhnya fenomena seks bebas dan HIV-AIDS di kalangan remaja ini cukup untuk membuktikan betapa liberalisme memang sudah menjadi norma dan sekaligus life style menggantikan posisi agama yang sebelumnya cukup kental mewarnai budaya mereka. Remaja sekarang seakan tak rela tertinggal nafas jaman bernama modernitas yang kadung dimaknai sempit sebagai ‘kebebasan’ semata-mata. Tak heran, jika di pelosok kampungpun, gadis-gadis desa tak kalah modisnya dengan artis sinetron yang sehari-hari mereka tonton di televisi. Begitupun dengan para pemudanya. Gaya rambut, pakaian, hand phone, cara bicara dan bergaul tak kalah heboh dibanding pemuda Amrik dan artis-artis ibukota yang menjadi idola mereka. Oleh karenanya, jangan harap jika hari ini kita bisa melihat remaja desa berbondong-bondong pergi ke mesjid untuk mengaji dan mengkaji ilmu agama sebagaimana yang biasa terjadi belasan tahun yang lalu. Maraknya pergaulan bebas yang kian menjadi trend dan dianggap sebagai standar kemajuan lifestyle di kehidupan modern. Istilah gaul, modern, dan metropolis kini selalu identik dengan pergaulan bebas. Sementara itu, interaksi sosial diantara individu umat --termasuk antara laki-laki dan perempuan-- yang seharusnya berorientasi pada tujuan membangun kerjasama (ta'awun) demi kemajuan umat, kian tersibghah oleh warna/orientasi seksualistik. Sehingga, alih-alih umat ini bisa bangkit, yang terjadi justru sebaliknya, umat semakin terjerumus pada kehancuran.
Liberalisme (paham kebebasan) memang menjanjikan banyak hal sekaligus menjerumuskan. Bagi sebagian orang, terlebih para remaja dengan segala karakteristik keremajaannya yang serba ingin tahu, dinamis dan potensi seksualitasnya sedang berkembang, paham ini tentu cukup menggiurkan. Hanya saja, cara berpikir dan mental/emosi yang belum matang pada remaja membuat pilihan-pilihan perilaku bebas mereka lebih banyak dituntun berdasarkan keinginan naluriah semata. Akibatnya, tak sedikit dari mereka yang terjerumus dalam perilaku negative yang tidak hanya membahayakan masa depan mereka sendiri, tetapi juga membahayakan masa depan bangsa.
Kondisi ini kemudian diperparah oleh penerapan system sekuler yang memang ‘tidak aman dan tidak sehat’ buat remaja. Sistem ini bahkan menjadi lahan subur bagi berkembangnya liberalisme di tengah-tengah masyarakat dan menjadi biang kerusakan atas mereka. Sebagaimana diketahui, sekularisme dan liberalisme keduanya sama-sama menafikan peran agama dalam mengatur kehidupan. Dengan paham ini, semua orang dibiarkan menjalani pilihan-pilihan hidup tanpa harus terikat dengan aturan apapun sepanjang pilihannya tidak bersinggungan dengan kepentingan dan kebebasan orang lain. Kalaupun agama boleh berperan, kedua paham ini telah mendistorsi peran tersebut hanya pada hal-hal yang berhubungan dengan urusan ibadah yang dianggap privat, termasuk masalah pernikahan, perceraian dan ritual kematian. Adapun dalam tata ekonomi, pemerintahan, budaya, tata sosial dan lain-lain, system ini mengharamkan adanya campur tangan agama. Semua pengaturannya diserahkan pada kehendak manusia berdasarkan prinsip kebebasan (free will) yang kemudian terrumus dalam formula HAM. Alhasil, yang muncul adalah tatanan hidup yang rusak, seperti tatanan ekonomi kapitalistik yang eksploitatif, tata pemerintahan yang oportunistik, tata budaya yang hedonistik, tata sosial yang liberalistik, dan lain-lain.
Ancaman Lost Generation
Tentu tak bisa dibayangkan bagaimana wajah Indonesia ke depan jika kondisi miris ini dibiarkan. Siapapun pasti akan berharap besar kepada generasi muda, mereka adalah generasi penerus bangsa yang akan menerima tampuk kepemimpinan di masa mendatang. Jika kondisi remaja saat ini sedemikian parah, maka apa yang bisa kita harapkan ?
Bahwa pemerintah cukup peduli dengan kondisi remaja memang tak bisa dinafikan. Bahkan menghadapi darurat kasus penyebaran HIV/AIDS di kalangan remaja, Pemerintah menyatakan siap menjadikan HIV/AIDS sebagai isu yang diprioritaskan sekalipun dana penanggulangannya diakui masih sangat minim. Setidaknya, minimnya pendanaan ini bisa tercover dengan bantuan dana hibah yang diterima dari foundation internasional. Koordinator United Nation General Assembly Special Session (UNGASS) on AIDS Forum Indonesia Aditya Wardhana mengatakan, anggaran penanggulangan HIV/AIDS sejauh ini sekitar 60 persen dari dana asing. Dalam National AIDS Spending Assessment 2010 yang kemudian dituangkan dalam Laporan Kemajuan Negara dalam Program AIDS untuk UNGASS on AIDS 2010, pembelanjaan untuk program AIDS tahun 2010 sebesar 50,8 juta dollar AS dan 60,97 persen masih didominasi oleh pendanaan donor. ”Obat antretroviral itu benar-benar dari dana asing,” ujarnya.
Persoalannya adalah, dalam tataran implementasi, program-program yang direkomendasikan dan dilakukan selama ini nampaknya masih belum menyentuh akar permasalahan. Selain hanya fokus pada upaya-upaya kuratif, upaya-upaya yang dilakukan juga cenderung bersifat pragmatis, bahkan bermasalah. Sebagai contoh, perluasan akses dan peningkatan kualitas pelayanan KB dan kesehatan, termasuk penggunaan jarum suntik KB sekali pakai langsung rusak dan kemudahan memperoleh layanan kontrasepsi dengan mudah dan murah justru membuat remaja kian berani melakukan seks bebas. Begitupun, sosialisasi informasi Kesehatan Reproduksi Remaja yang gencar dilakukan –termasuk kampanye seks sehat dan aman melalui jurus ABCDEnya-- justru cenderung ‘merangsang’ hasrat seksual remaja untuk melakukan seks pra nikah. Yang lebih parah, kampanye penggunaan kondom yang digagas pemerintah, termasuk penyediaan ATM Kondom resmi di tempat-tempat tertentu malah memfasilitasi kegiatan seks bebas kian merajalela dengan dalih “aman” dari KTD (kehamilan tak diinginkan) dan “aman” dari ancaman terkena HIV/AIDS. Wajar jika upaya-upaya yang dilakukan tersebut tak berpengaruh signifikan terhadap berkurangnya angka HIV/AIDS dan seks bebas berikut dampak turunannya. Malahan data menunjukkan kasus-kasus tersebut terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun dengan peningkatan yang sangat fantastik.
Kondisi ini sebetulnya niscaya jika melihat semua upaya yang dilakukan memang tegak di atas paradigma yang salah, yakni paradigma liberal dan secular yang senantiasa meminggirkan aturan-aturan agama. Padahal, sebagaimana yang telah dijelaskan, justru liberalisme dan sekularismelah yang menjadi biang merebaknya kasus-kasus tersebut di kalangan remaja. Bagaimana bisa, dengan program kondomisasi misalnya, remaja mau berhenti melakukan seks bebas, sementara program ini mengkampanyekan pemakaian kondom bisa mencegah KTD dan HIV/AIDS? Bagi remaja, kampanye ini tentu dipahami sebagai “ga apa-apa melakukan aktivitas seks asal mau pake kondom”. Begitupun, bagaimana bisa mereka terhindar dari KTD dan ancaman HIV/AIDS, sementara penelitian menunjukkan, bahwa kondom terbukti tidak mampu mencegah penularan HIV karena pori kondom ternyata berukuran 700 kali lebih besar dibandingkan ukuran HIV-1 dan ternyata kondom sensitif terhadap suhu panas dan dingin, sehingga 36-38% sebenarnya tidak dapat digunakan. Dengan demikian, wajar jika alih-alih mnyelamatkan generasi dari bahaya HIV, kondomisasi justru mendorong remaja berseks bebas dan mempercepat penyebaran HIV/AIDS hingga 13-27% lebih (Weller S, Davis K, 2004). Alhasil, ancaman lost generation bukan lagi cuma mimpi, namun suatu saat akan benar-benar terjadi. Demikian pula dengan upaya edukasi yang baru dicanangkan kurang lebih 2 tahun belakangan ini sebagai pencegahan merebaknya HIV/Aids ini, jika yang dimaksud adalah pendidikan seksual sejak dini,sebagaimana yang telah dilakukan dalam program KRR, maka yang terjadi adalah semakin merebaknya seks bebas di kalangan remaja. Maka bisa disimpulkan bahwa upaya yang dilakukan dengan ABCDEnya bukannya mencegah menyebarnya HIV/Aids, tapi justru semakin mendorong meningkatnya seks bebas yang selanjutnya semakin meningkatkan jumlah kasus dan penderita HIV/Aids.
PENANGGULANGAN HIV/AIDS PERSPEKTIF ISLAM
Setelah menyimak uraian di atas, tak dapat dibantah lagi, solusi penanggulangan HIV/AIDS yang lahir dari paham liberal harus ditinggalkan, dan pilihannya satu-satunya hanyalah kembali pada Islam. Tiga hal penting yang menjadi prinsip penanggulangan HIV/AIDS menurut Islam, yaitu: a) menutup setiap celah seks bebas b) menutup setiap celah penyalahgunaan NARKOBA c) mencegah penularan melalui cairan tubuh ODHA.
Menutup Setiap Celah Seks bebas.
Menutup setiap celah kebebasan seksual sebagai upaya penanggulangan HIV/AIDS sangat mudah diterima, karena terbukti seks bebas merupakan sarana penularan utama HIV/AIDS. Menutup setiap celah seks bebas berarti mengatur pemunculan dan pemenuhan naluri seks agar sesuai dengan tujuan Allah swt menciptaan naluri seks tersebut. Yaitu agar ras manusia lestari.
Untuk tujuan tersebut Islam telah mempersiapkan seperangkat aturan, yaitu diperintahkan menahan pandangan dan memelihara kemaluan. QS 24:30, yang artinya “Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandanganya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih Suci bagi mereka, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang mereka perbuat". QS 24:31, yang artinya “Katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya.. “
Islam juga mewajibkan laki-laki dan wanita dewasa menutupi aurat. Rasulullah saw bersabda, yang artinya “Sesungguhnya (aurat laki-laki) dari bawah pusar sampai ke dua lututnya merupakan auratnya.(HR Ahmad). Allah swt berfirman dalam QS 24:31 , yang artinya “.....dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya....”
Dengan tertutupnya aurat pria dan wanita maka pornoaksi dan pornografi tidak akan ada di tengah masyarakat, sehingga naluri seksual tidak distimulasi pada saat yang tidak tepat. Adapun dari sisi ekonomi, berbeda dengan sistem ekonomi kapitalis, Islam tidak pernah melihat barang dan jasa pornografi-pornoaksi, maupun praktik prostitusi sebagai barang ekonomi, bahkan mengharamkannya. Hal ini dengan sendirinya akan menutup pintu perzinahan dan pencegah trafficking. Selain itu Islam mewajibkan terpisah kehidupan pria dan wanita dan melarang berkhalwat (berduaan/pacaran). Rasulullah saw menyatakan : ”Ingat, tidaklah seorang pria berduaan dengan seorang wanita, kecuali pihak ketiganya adalah syaitan”. (HR Al-Baihaqi).
Berbeda dengan masyarakat sekuler yang mendorong masyarakat membujang, baik karena alasan karier, ekonomi maupun menganggap menikah sebagai beban. Islam justru mendorong menikah sebagai cara pemenuhan naluri seksual yang sesuai dengan fitrah dan tujuan penciptaan naluri seks. Allah swt dalam QS 24:32, berfirman yang artinya “Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian diantara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui”. Rasulullah saw bersabda, yang artinya “ Wahai para pemuda barang siap di antara kamu telah mampu memikul beban, maka hendaklah ia kawin karena dengan menikah dapat menundukkan pandangan dan menjaga kemaluan dan barang siap yang belum mampu hendaklah ia puasa, karena dengan puasa dapat menjadi pengendali”” (HR. Ibnu Mas’ud r.a).
Islam mengharamkan perzinahan dan segala yang terkait dengannya. QS 17:32, yang artinya “Dan janganlah kamu mendekati zina; Sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. dan suatu jalan yang buruk”.
Seperangkat ketentuan di atas suatu yang niscya dilaksanakan, karena Negara berperan aktif mewujudkan ketaqwaan individu yang menjadi pilar utama pelaksanaan syariat Islam, dan pelaksana pendidikan formal dan non formal yang berasaskan aqidah Islam. Upaya pemerintah ini bersinergi dengan adanya penanaman ketaqwaan di dalam keluarga. Berbeda dengan masyarakat sekuler, yang menganggap seks bebas bagian dari kebebasan individu, Islam justru mendorong kepedulian dan kontrol sosial. hal ini menjadi pilar kedua pelaksanaan Islam. Dalam hal ini Allah swt memerintahkan amar ma’ruf nahi mungkar, tidak boleh membiarkan ada suatu kemaksiatan. Allah swt berfirman dalam QS 8:25, yang artinya “Dan peliharalah dirimu dari pada siksaan yang tidak khusus menimpa orang-orang yang zalim saja di antara kamu. Dan ketahuilah bahwa Allah amat keras siksaan-Nya.”
Lain halnya dengan pemerintahan sekuler, yang memelihara kebebasan seksual, pemerintahan Islam justru memelihara urusan masyarakat agar berjalan sesuai dengan aturan Allah swt. Oleh karena itu, Islam telah menyiapkan seperangkat sangsi yang diterapkan Negara bagi pelanggar aturan Allah swt, dalam hal ini mencegah terjadinya seks bebas, yaitu: Allah swt menetapkan hukuman rajam bagi pezina muhson (yang sudah menikah) dan jilid 100 kali bagi pezina yang bukan muhson.
Hukum ini juga berlaku bagi ODHA yang terbukti terinfeksi karena berzina. Jika ia sudah menikah, maka ia dirajam. Jika belum menikah, maka ia dicambuk 100 kali. Sedangkan jika terinfeksi karena liwath (homoseksual) maka dibunuh. Bagi yang melakukan aktivitas yang mengantar pada perzinahan, negara berhak menjatuhkan hukuman takzir (sanksi administratif). Sedangkan bagi pelaku homoseks Islam bisa menjatuhkan hukuman bunuh.53
Faktor kemiskinan yang menjerat seseorang dalam perbuatan prostitusi diatasi oleh Islam dengan mendorong berusaha dan peran negara membantu membuka lapangan kerja yang halal. Negara juga wajib menjamin terpenuhinya kebutuhan pokok, seperti pangan, sandang, papan, pendidikan dan kesehatan. Karena Allah SWT telah menjadikan penguasa sebagai perisai, sebagaimana sabda Rasulullah saw, yang artinya ”Seorang imam adalah pemelihara dan pengatur urusan (rakyat), dan ia akan diminta pertanggung jawaban terhadap rakyatnya”. (HR. Bukhari dan Muslim).54
Menutup Setiap Celah Penyalahgunaan Narkoba
Allah swt telah mengharamkan NARKOBA, apapun jenisnya, karena segala benda tersebut dapat menghilangkan akal (kesadaran). Rasulullah saw bersabda, “Kullu muskirin haraamun” (artinya : “Setiap yang menghilangkan akal/kesadaran adalah haram” (HR Bukhari dan Muslim). Sabdanya lagi : “Laa dharaara wa la dhiraara” (artinya : ”Tidak boleh menimpakan bahaya pada diri sendiri dan kepada orang lain.” (HR. Ibnu Majah)
Indonesia saat ini telah menjadi market NARKOBA, hal ini di dukung oleh berbagai fakta, di antaranya adalah pabrik ekstasi terbesar di Asia Tenggara ada di Banten, ditemukannya berkilo-kilo NARKOBA dan jumlah penyalahguna NARKOBA meningkat cepat sangat cepat. Dengan demikian untuk mengatasi/menghentikan penyalahguna NARKOBA, selain mewujudkan ketaqwaan individu, terpenting juga diberantas mafianya. Untuk tujuan ini, mutlak diperlukan perangkat hukum yang tegas dan aparatnya yang amanah dan visioner sebagai pemelihara urusan rakyat.
Islam telah mengharamkan NARKOBA dan turunannya. Pemakai NARKOBA dapat dikenakan sangsi 40 kali cambuk dan boleh lebih dari itu. ODHA yang terbukti terinfeksi karena menggunakan NARKOBA maka dikenakan sangsi hukum cambuk. Tindakan tegas pemerintah bagi pengedar dan pengguna NARKOBA akan memberikan efek jera. Negara dapat memberikan hukum mati bagi pengedar NARKOBA.
Putuskan Rantai Transmisi Melalui ODHA
Dengan diterapkannya hukum rajam bagi ODHA yang terbukti terinfeksi karena berzina (sudah menikah) dan hukum bunuh bagi ODHA yang terbukti terinfeksi karena pelaku homoseksual, maka dengan sendirinya penularan melalui cairan tubuh ODHA jelas terputus, sehingga dapat menekan jumlah yang tertular akibat adanya “effect spiral”.
Adapun ODHA yang tidak terkena sangsi yang mematikan, haruslah diisolasi sebagai upaya pencegahan penularan melalui darah dan cairan tubuhnya. Hal ini karena terbukti darah dan cairan tubuh ODHA berisiko tinggi hingga rendah menularkan HIV. Mengisolasi/karantina ODHA tidaklah dapat diartikan mendiskriminasikan dan menstigmatisasi ODHA yang berakibat pada penderitaan fisik dan psikis pada ODHA, akan tetapi adalah mencegah agar cairan tubuh ODHA tidak menimbulkan infeksi bagi orang sehat. Di sisi lain, ODHA harus dilihat sebagai manusia secara utuh, sehingga selama masa isolasi haruslah dijamin pemenuhan kebutuhan fisik dan nalurinya, dimotivasi untuk sembuh.
Dengan demikian, selama diisolasi ODHA tidak hanya diberi terapi fisik, seperti diberikan diit yang memenuhi kecukupan gizi ODHA, obat sistemik dan vitamin, pada pengobatan supotif, akan tetapi juga terapi psikoreligi yang sangat dibutuhkan untuk menimbulkan motivasi kesembuhan, bahkan sholat, berdoa, berzikir dapat meningkatkan kekebalan tubuh terhadap virus HIV/AIDS. Selama isolasi ODHA dapat melakukan berbagai aktivitas normal, seperti menjahit, belajar mengajar, berinteraksi dengan keluarga, teman-temannya. ODHA dan keluarganya perlu diberikan perngertian supaya tidak tersinggung dengan adanya perlakuan khusus dalam interaksi keseharian dengan lingkungannya.
Isolasi penderita penyakit menular, dalam hal ini ODHA, dibenarkan oleh Syariat. Sebagaimana sabda Rasulullah saw, yang artinya “Sekali-kali janganlah orang yang berpenyakit menular mendekati yang sehat” (Riwayat Bukhari dari Abu Hurairah, dalam kitab Thib (kedokteran) (‘Umdatul Qari, Juz Xxi, hal 288). Rasulullah saw bersabda yang artinya “Apabila kamu mendengar ada wabah pes di suatu negeri, maka janganlah kamu memasukinya dan apabila wabah itu berjangkit sedangkan kamu berda dalam negeri itu, janganlah kamu keluar melarikan diri. (HR Ahmad, Bukhari, Muslim dan nasa’i dari Abdurrahman bin ‘Auf) (‘Umdatul Qari, juz XII, hal. 259).
Apa yang disampaikan Rasulullah saw kemudian menjadi panduan bagi kedokteran modern, yang pertama kali dikembangkan oleh kaum muslimin. Sehingga dalam perjalanan sejarah, terdapat bangunan rumah sakit yang memisahkan penyakit menular dan tidak. Rumah sakit-rumah sakit ini memberikan pelayanan gratis kepada masyarakat. Hal ini tak lain adalah sebagai wujud pelaksanaan tanggung jawab Khalifah terhadap masyarakat.
Selain menyediakan perawatan khusus bagi ODHA, risiko penularan di pelayanan kesehatan ditekan dengan penerapan kewaspadaan umum (universal precautions), seperti tindakan pencegahan dengan mengikuti prosedur cuci tangan yang higienis, pengelolaan alat kesehatan tajam.57 Dalam hal transfusi darah. haruslah dipastikan bahwa donor tidak memiliki perilaku berisiko tertular HIV dan atau tidak memiliki hubugan dekat dengan ODHA. Selain itu hendaknya berhati-hati dengan hasil tes negatif palsu.
Demikianlah solusi Islam dalam menanggulangi HIV/AIDS, suatu solusi yang bersifat mendasar, mampu mengatasi hingga ke akar masalah. Oleh Karena itu, tidak ada pilihan lain jika ingin selamat dari kehancuran masyarakat selain dengan kembali kepada sistem Islam, yakni dengan menerapkan seluruh aturan Islam secara kaafah dalam kehidupan individu dan bermasyarakat. Hanya saja agar seluruh hukum Islam ini bisa dilaksanakan secara utuh, maka setidaknya ada tiga pilar penerapan hukum Islam yang harus terwujud dalam kehidupan umat, yaitu ketaqwaan individu yang mendorongnya terikat kepada hukum syara, kontrol masyarakat, yang melahirkan tradisi amar ma'ruf nahi munkar dan saling muhassabah di tengah-tengah mereka dan kendali negara sebagai penerap dan pelaksana hukum.
Ketiga pilar ini harus ada secara bersama. Sebab jika ada individu atau masyarakat yang bertaqwa, begitu pula ada kontrol masyarakat, namun tidak ada negara yang menerapkan hukum Islam, tentu mustahil hukum Islam tersebut dapat diterapkan. Karena negaralah yang bertanggungjawab menerapkan hukum tersebut. Begitu pula apabila ada negara yang menerapkan Islam, tetapi tidak di kawal dengan adanya kontrol masyarakat dan ketakwaan individu, maka sedikit demi sedikit penerapan Islam yang dilakukan oleh negara tersebut akan diselewengkan.
Kebijakan Berperspektif Penyelamatan Generasi
Seharusnya pemerintah dan seluruh stakeholder yang terkait segera melakukan evaluasi menyeluruh terhadap kebijakan penanggulangan HIV/AIDS dan seks bebas di kalangan remaja, jika mereka memang betul-betul peduli terhadap generasi penerus masa depan ini. Jika mereka sepakat dengan konklusi bahwa liberalisme sekularisme adalah akar/biang kerusakan, termasuk menjadi tanah subur bagi berkembangnya seks bebas dan HIV/AIDS, maka semua upaya yang tegak di atas paradigma ini harus segera ditinggalkan.
Sebagai contoh, formula ABCDE yang include dalam sosialisasi KRR dan program penanggulangan HIV/AIDS yang selama ini dilakukan, harus dihapuskan. Tidak boleh ada alternative lain selain kampanye Abstinence (no free sex) dan no Drugs. Kalaupun program kondomisasi mau tetap digunakan, konteksnya hanya untuk program pengaturan kelahiran dalam perkawinan yang menurut agama memang dibolehkan. Itupun hanya sebagai pilihan, bukan kewajiban.
Lebih dari itu, seluruh kebijakan pemerintah di semua lini harus dipastikan berparadigma menjamin penyelamatan generasi. Ini berarti, seluruh akses yang mengarah kepada rusaknya generasi, baik karena seks bebas dan penyalahgunaan narkoba yang memicu merebaknya HIV/AIDS, maupun yang mengarah pada kemaksiatan lainnya harus ditutup rapat dengan cara memberlakukan system pengaturan kehidupan yang tegak di atas paradigma yang benar dan merupakan versus dari liberalisme-sekularisme.
Antara lain, pemerintah wajib menerapkan aturan sosial yang menjauhkan dominasi rangsangan seksual dalam interaksi antara laki-laki dan perempuan dalam masyarakat. Dengan cara ini, hubungan yang terjadi di antara mereka akan dipenuhi suasana ta’awun/kerjasama saling menguatkan untuk berkontribusi maksimal sesuai peran dan fungsinya dalam membangun peradaban dan mewujudkan kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan, bukan suasana jinsiyah sebagaimana yang terjadi dalam system liberal. Terkait dengan ini, pergaulan bebas antar lawan jenis, industry pornografi dan pornoaksi sama sekali tidak akan diberi tempat oleh penguasa.
Demikian pula dalam aspek ekonomi. Pemerintah wajib menerapkan aturan yang akan menjamin stabilitas ekonomi yang kuat yang bertumpu pada kegiatan ekonomi ril, termasuk mandiri mengelola aset-aset SDA yang melimpah ruah sehingga negara memiliki kas besar untuk melakukan pembangunan dan dengannya bisa benar-benar menjamin kesejahteraan rakyat. Pemerintah juga wajib memberikan akses yang semudah mungkin bagi rakyat atas lapangan pekerjaan yang halal sehingga dengan cara ini peluang munculnya pekerjaan-pekerjaan yang rusak dan merusak, seperti bisnis narkoba dan industry seks yang hari ini justru menjadi bagian dari kegiatan ekonomi bayangan (shadow economic) yang memberi keuntungan sangat besar juga bisa ditutup rapat.
Kebijakan pendidikanpun tak kalah penting untuk dideregulasi. Jika selama ini kebijakan pendidikan lebih mengarah pada tujuan-tujuan materi, maka sudah saatnya pendidikan diarahkan untuk membangun kepribadian individu yang kuat, baik dari sisi pardigma berpikir maupun pola sikap yang keduanya didasari kesadaran yang benar terhadap makna hidup, tujuan hidup dan hal-hal lain yang bersifat transedental. Dalam konteks Islam, kepribadian dimaksud adalah kepribadian Islam yang tegak di atas kesadaran akan tujuan penciptaan, yakni menjadi pengelola bumi dalam rangka beribadah kepada Sang Khaliq. Paradigma pendidikan semacam inilah yang terbukti berhasil membentuk pribadi-pribadi berkualitas, yang siap membangun peradaban umat sedemikian gemilang. Dan untuk mewujudkannya, paradigma pendidikan ini harus dibreak down sedemikian rupa dalam bentuk kurikulum dan metoda pembelajaran yang mengarah pada tujuan tersebut.
Tentu saja, untuk menjamin penerapan semua kebijakan tersebut, pemerintah juga harus menerapkan system hukum dan system sanksi yang tegas yang tidak hanya berfungsi sebagai pencegah terjadinya penyelewengan saja, tetapi juga memiliki paradigma ruhiyyah, yakni sebagai penebus dosa, yang sejatinya akan menjadi motivasi tersendiri bagi masyarakat untuk senantiasa taat pada setiap kebijakan pemerintah. Secara keseluruhan, sistem dimaksud tak lain hanyalah system Islam, yang hanya bisa ditegakkan dalam wadah Daulah Khilafah Islamiyah yang menjadikan kedaulatan hanya di tangan Allah SWT saja.
Khotimah
Inilah solusi Islam atas merebaknya fakta HIV/AIDS, narkoba yang berpangkal pada pergaulan bebas di tengah masyarakat kaum muslimin, yang sebagian besar menimpa para remaja dan generasi muda muslim. Sebuah solusi yang bukan sekedar utopi, tetapi sesuatu yang amali. Persoalannya, apakah kita mau beranjak dari keterpurukan ini? Jika ya, maka langkah pertama yang harus diambil adalah mulai membina diri dan umat dengan aqidah dan pemahaman Islam yang benar dan utuh, hingga ideologi Islam benar-benar terkristal dalam akal dan jiwa. Dengan cara ini, Insya Allah akan terbentuk pribadi-pribadi dan masyarakat yang taqwa, yang siap terikat dengan hukum-hukum Allah, mencintai dakwah serta siap berkorban untuk berjuang di jalan Allah, hingga sistem Islam yang bersih dan mulia ini tegak dalam naungan Daulah Khilafah Islamiyah.
"Dan taatilah Allah dan Rasul, supaya kamu diberi rahmat. Dan bersegeralah kamu kepada Ampunan dari Tuhanmu dan kepada syurga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertaqwa" (TQS. Ali-Imran[3]:132-133)